2014/12/17

Dengan Izinmu Aku Memelukmu

Di siang yang panas aku melihatmu menggigil
bahagiamu larut digenangi kesedihan
Masih tampak sebuah lebam di pipi--sisa pertengkaran semalam
coba kau samarkan

Dulu, aku pernah menanamkan luka di dadamu
lalu tumbuh
hingga mengubur kata maaf yang keluar dari bibirku
Dengan terpaksa, kata ikhlas kutulis
meski tintanya harus dari air mataku
--pun membuatkan jalan kepergian untukmu

Kini aku datang sebagai penggalan masa lalu
yang masih menganggapmu kesalahan terindah
kembali membawa dekap; tempat di mana
pernah kau baringkan segala resah

Jika kau izinkan sekali lagi, dinda
aku masih ingin menempatkanmu dalam pelukan
mengecup keningmu saat fajar
pun mengaitkan jemarimu ketika berjalan
Karena di dadaku
masih ada rindu yang mendoakanmu

2014/12/03

Pada Malam yang Menggigilkan Kenang

Malam ini aku terbangun dengan napas tersengal--dibangunkan oleh mimpi yang dipenggal kesunyian. Seekor kunang-kunang terbang mendekat, membahasakan kata sesal yang terlintas di pikiranku. Malam ini bulan sudah melewati purnama kedua, sejak pertama kali aku meninggalkan ruangan ini. "Aku sengaja tak mengubah apapun di ruang ini, agar kelak ketika kau kembali, kau tak pernah merasa asing." katamu.

2014/10/30

Selamat Ulang Tahun, Ulan

Thumb 05

Dua puluh sembilan Oktober adalah hari ketiga ratus dua tahun ini--mengulang tanggal di mana kau mulai diizinkan untuk menikmati dunia berpuluh tahun yang lalu.

Kuakui aku sengaja tak memberikan ucapan ulang tahun tepat pukul dua belas tadi malam, aku memilih untuk memberimu tulisanku sebagai hadiah ulang tahun mendekati pergantian hari. Aku ingin menjadi yang terakhir memberimu ucapan, saat tak ada lagi yang mengingatnya. Karena aku tak bisa--tak terbiasa memberi kejutan ulang tahun. Pun malam ini hanya bisa memberimu doa, sambil berdoa Tuhan akan mengabulkannya untukmu.

Thumb 04

Tak ada kado atau hadiah berpita warna ungu kesukaanmu. Tak juga kue tart dengan lilin angka penanda usia, pun dengan bunga yang kukirim untukmu. Namun semoga tak mengurangi kebahagiaanmu hari ini. Satu hal yang kupelajari dari teman-teman kota jancuk; mereka tak pernah lupa untuk mengingatkan untuk bahagia--juga jatuh cinta. Karena itu, berbahagialah! Jatuh cintalah!

Thumb 03

Aku tahu bagimu; usia bukan hanya perihal angka dan kerut di wajah, tapi usia adalah tentang tanggung jawab yang tak pernah usai.

Harapanku; kau tak menyerah menghadapi tantangan dunia. Tetaplah tersenyum, meskipun tantangan dan tanggung jawab terkadang membuat lelah. 

Thumb 02

Selamat ulang tahun Ulan Octavia.

Salam dan peluk terhangat dari Surabaya.

Masni Metha

Thumb 01

2014/09/27

Siapa Aku?

Tak ada lagi luka, tak ada lagi duka
yang tersisa ialah bahagia yang ada di depan sana

Terkadang cinta memang lucu
Kau memberiku penawar luka, membuatnya sembuh
sebelum kau lukai lagi aku dengan tangis yang membuatku jatuh
Dosa yang tertinggal di pikiran kita masing-masing bersuara
menggumamkan kesah yang tak terucap

Yang kutahu; aku menjatuhkan cinta yang hangat pada genggamanmu
tapi sepertinya, cinta yang kaujatuhkan telah digigilkan cemburu

Engkau pergi sebagai ribuan tanya
dan aku terlalu sibuk mencari jawaban
hingga aku lupa cara berjalan

"Lalu bagaimana aku bisa melupakanmu?"
pikiranku berputar memaksakan jawaban
sebelum akhirnya kuputuskan
: untuk membuatkan akrostik dari namamu
sebagai hadiah perpisahan

Sayangnya, aku tak ingin tergesa--aku masih ingin menikmati sakitnya mengingatmu
Puisi pertama selesai, pun kedua, ketiga, keempat,
hingga aku lupa, benar-benar lupa

"Siapa aku?"

Entah, mungkin melupakanmu sama saja membunuhku.

Surabaya, 2014

2014/09/15

Pada Satu Senja

Semalam, satu pesan singkat kuterima; "Aku ingin bertemu." Dan kau menentukan tempat pertemuan kita sebagai jembatan perpisahan. Beranda kafe ini semakin terang oleh senja yang sebentar lagi pergi. Sesekali menyilaukan ketika cahayanya menyelinap saat pintunya terbuka. Aku yang datang lebih dulu, memilih duduk di tempat kesukaanmu--menghadap ke Barat. "Aku suka melihat matahari datang, seperti manusia yang harus melangkah ketika memutuskan untuk bangun dan berdiri dari tidur di malam sebelumnya." alasan yang kau ungkap.

Acap kali kuselingkuhi buku yang kuletakkan di pangkuan dan mengarahkan pandangan ketika pintu kafe terbuka, berharap kau segera datang lalu mengakhiri keresahanku. Tepat pukul lima kau datang dengan pakaian hadiah ulang tahun dariku. "Kau cantik sekali." kataku mengagumi. Sebuah senyum kau lempar padaku sebagai balasan.

Sore ini, kau datang sebagai masa lalu, kita duduk saling berhadapan--tak lagi berdampingan, di meja yang sama ketika kita sepakat untuk saling menjatuhkan hati. Untuk menyamarkan pahitnya perpisahan kau memesan cokelat manis, kau letakkan di sebelah cangkir kopi pahit milikku, yang kuanggap sebagai perantara melupakan manisnya pertemuan.

Hampir satu putaran penuh jarum jam panjang di dinding itu bergerak, kau tetap saja diam memandangi senja yang berpamitan pada dunia. Pun aku yang tak berusaha untuk memulai bicara, larut dalam indahnya perpisahan. "Maaf. Maaf aku harus meninggalkanmu seperti itu." kalimat yang keluar dari bibirmu, sekaligus membangunkan lamunanku--membawa ingatanku pada pertemuan terakhir kita satu bulan yang lalu. "Selamat tinggal." ialah kata-kata terakhir yang kudengar darimu sebelum kau membanting pintu di depanku.

Ketika senja sudah sepenuhnya berpamitan, aku berdiri, kukatakan padanya: "Aku pergi. Untuk kita: mungkin Tuhan menuliskan pertemuan untuk dipisahkan. Selamat tinggal." Sedangkan dia tetap diam, melihat perpisahan; bukan dengan senja, tapi aku.

Ternyata benar yang kubayangkan, cinta adalah guru yang hebat; bukan selalu tentang bahagia, cinta juga mengajarkan luka. Semoga pertemuan ini menjadi pertemuan terakhirku dengan luka--oleh seorang yang pernah kujadikan kepulangan terakhir.

Selamat tinggal.

2014/07/06

Selamat Ulang Tahun Pernikahan, Sahabat.

Pernikahan.
Hmm, tak banyak yang kutahu tentang apa itu pernikahan. Yang kutahu pernikahan itu menyatukan dua keluarga, bukan dua kepala. Karena di dalam dua kepala itu tersimpan masing-masing satu keluarga. Bukan lagi persoalan aku atau kamu tapi kita, terlebih yang melibatkan keduanya. Mungkin itu yang bisa kugambarkan tentang pernikahan, jika aku melihat--berkaca pada bapak dan ibuku yang usia pernikahannya sudah sampai di usia 36 tahun pada 22 Nopember 2014 besok.

Dan hari ini aku ingin mengucapkan selamat ulang tahun pernikahan pada seorang sahabat--Penagenic. Selamat Ulang Tahun Pernikahan yang ke-8, Maspen dan MbakNyit.

maspen

Aku ingat; Sabtu, 29 Juni 2013, di sebuah acara bernama "Malam Puisi Surabaya; Surabaya Romantis" kita berkenalan. Ya, baru setahun, tapi aku seperti sudah lama mengenalmu. Begitu banyak hal yang kau bagikan padaku, entah kisah tentang masa lajangmu, pun tentang nilai-nilai yang biasa kau petik dari pernikahanmu dengan seorang wanita yang biasa kau panggil "mbak istri" (dan aku sangat berterimakasih untuk itu, mas. Semoga bisa menjadi bekal untukku kelak. Aamiin). Dan mengenai pernikahan, aku ingat benar kata-katamu, "Pernikahan adalah suatu yang suci--sakral, karena disaksikan oleh 7 malaikat di sekitar kita saat kita mengucap Ijab Kabul". Itu bisa menjadi pesan untukku agar tidak menganggap pernikahan itu sebuah permainan.

Ah, jika mendengar cerita masa mudamu. Meskipun aku bukan Ki Joko Bodo, aku bisa tahu bahwa mbak istri adalah orang hebat; seorang wanita yang bisa menaklukan hati seorang Penagenic, seorang yang bisa membuat seorang Penagenic selalu menyebut namanya ketika berbicara tentang kebahagiaan. Juga hadirnya bidadari kecil bernama Ayin, yang selalu mengingatkanmu untuk tak pernah berhenti melakukan yang terbaik. Dan dari caramu memperlakukanku (dan keluarga Kota Jancuk) pun aku tahu bahwa seorang Penagenic adalah seorang suami dan ayah yang baik--yang selalu menginginkan yang terbaik untuk keluarganya.

140705-130316

Sekali lagi "Selamat Ulang Tahun Pernikahan". Doa terbaikku selalu untuk kebahagiaan kalian, sekarang dan seterusnya. Pelukan dari jenis terhangat untuk kalian.



Salam

Masni Metha

PS: Sampaikan kecup terhangatku pada Ayin; bidadari kecil di tengah-tengah kalian.

2014/06/24

Maaf, Perempuanku

Perempuan, sore ini aku sedang memandangi langit, sambil berharap senja tidak membawaku kembali pada luka. Aku ingat apa yang kau katakan malam itu; “Sayang, pelukmu terlalu menenangkan, aku takut tak bisa melepasmu.” Kalimat yang membuat hati semakin menumpang tindih dengan logika.

Empat tahun lalu kau pergi, meninggalkanku tanpa permisi. Melangkahkan tujuan ke pelaminan yang tampaknya indah, sebelum durinya tak jarang melukai.

Dan sore itu kau datang dengan tangis yang mengisak, lirih suaramu hampir dikalahkan gesekan daun yang berteriak. Pun sembab di mata membuatku tak bisa menolak untuk memberimu pelukan. Sedang di tempat yang lain, kekasihku sedang menanti—aku; yang menjanjikan untuk bermesraan malam ini. Karena malam ini ialah tepat satu tahun pertunanganku dengan perempuan yang kelak kupanggil istri.

Kami terlibat dalam percintaan hebat malam itu. Dalam lamunan terbesit tanya “Apa yang harus kukatakan padanya? Dia pasti marah sekali” sambil kumembelai rambut seorang perempuan yang tertidur di dadaku tanpa mengenakan apa-apa.

Menjelang siang di keesokan harinya kau tersadar dari lelap, sembab di mata tak lagi tampak. Jarum jam yang pendek sudah sampai di angka 9, dan kau bergegas—sekali lagi akan meninggalkanku di kamar ini di ujung lorong hotel ini.

“Pergilah! Dadaku bukan sekadar tempat persinggahan—tempat melupakan duka. Sebelum akhirnya kau kembali pada pelukannya.” kataku.

“Selamat tinggal.” kata-kata yang terakhir kudengar, sebelum kau membanting pintu di depanku.

2014/06/06

Aku; Membencimu Di Antara Malam Dan Larut

Aku Membencimu di Antara Malam Dan Larut

Di antara malam dan larut
sungguh aku ingin mengajakmu bercinta.
Mengulang kebiasaan lama
bertukar cerita atau kecup
Lidah kita bertautan, tubuh kita menyatu
membuat iri gigil dan angin yang hendak bersetubuh

Tapi dulu...
ketika aku membencimu
Membenci dengan cinta yang terlalu
menjadikanmu satu di antara seribu.

Jika kau tahu, bedak dan gincumu masih kusimpan
dalam laci—tempat kuletakkan semua kenang.
Anggap saja aku masih menyimpan harap
kau datang membawa rasa
—meninggalkan ragu di tempat yang paling gelap
yang tak pernah lagi kausentuh.

Di antara malam dan larut, aku membencimu

Aku membencimu karena aku tak bisa membencimu.



2014/05/31

Tak Ada Lagi Pungguk

Selamat tinggal, dinda
Kucukupkan penantianku
tak lagi aku inginkan peran sebagai pungguk
Menunggumu jatuh lagi ke dalam pelukan
serupa menanti hujan saat matahari sedang berkuasa
bukan tak bisa, hanya saja aku lelah.

Semua tentang kita, sudah dituliskan
pun tentang adanya kau
yang tak lagi menginginkan aku
mengetuk, dan mengukir lagi nama di kisah hidupmu.
Kukatakan padamu:
"Aku, adalah laki-laki beruntung,
yang pernah kau anggap puisi di hidupmu".

Lama aku menanam ketabahan
derai tangis—deras menguras sisa air mata
Cukupku telah menguburkan rindu bersama kenang
memugar dinding bernama kesabaran
dan menghapus namamu dari labirin ingatan.

Perlahan menata kembali hati yang rusak
oleh cemburu yang sering mengoyak
—merapikan seperti saat pertama kali kau datang
Membangun kembali istana tanpa nama
beri warna lain dari kisah di depan sana.

Selamat tinggal, dinda
Ketahuilah, ada debar saat kau menyapa
debar yang membuatku bisa
mencintai satu perempuan saja
dan sanggup tak meredup
dalam penantian lebih dari seribu malam.

2014/05/17

Cemburu

Dalam angkuhnya gigil malam,
sungguh aku ingin mengajakmu berjalan.
Menyusuri semua kenang
mencoba membuka telaga ingatan
tentangmu, aku, dan kita.
Kuakui aku pernah cemburu,
cemburu yang makin memburu
bahkan sanggup membunuh
Cemburuku; bukan seperti awan
menangisi kepergian hujan ke pelukan tanah,
meski akhirnya akan kembali padanya.
Tidak, cemburuku bukan seperti itu.
Aku ingin memelukmu erat, selama aku bisa
—dan selama kau ingin.

2014/04/21

Aku (Pernah) Hidup

Waktu tak berdetak sesuai inginku
Uraikan lagi kisah yang telah lalu.
Luka yang (pernah) kuberi padamu, membayangi setiap langkah
Aku, bahkan tak lagi mengenal hatiku.
Namamu (pernah) ada—selalu ada dalam doa
—Wajahmu (pernah) selalu mengunjungi mimpi.
Adalah egoku, yang membuatmu tak lagi di sisi
Hempaskan segala angan yang telah nyata—dalam dirimu, satu
Yang terbaik, yang (pernah) kumiliki
Untaian kata berwujud janji (pernah) ada
Taburkan benih-benih bahagia dalam cerita
Rasa ini masih ada,
Inginkanmu tak (pernah) pergi dariku
Otakku kini tak lagi bisa berkata manis pada hatiku
Kepala di tubuh ini (pernah) hanya berisi namamu
Tuliskan mimpi dari masa yang telah lalu.
Aku yang (pernah) menganggapmu serupa candu
Virus yang tak (pernah) ingin kuhilangkan.
Ijinkan aku, mengulang kembali waktu—saat bersamamu
Agar aku bisa—agar aku bisa menghapus kata (pernah), dari kisah yang (pernah) kutuliskan.

Karena aku, (pernah) sangat mencintaimu.

2014/04/07

Kecup Terakhirku

Sehangat apapun senja,

ia tak lebih hangat dari tubuhmu yang mendekap

Yang mengantarku kembali memasuki luka,

membangkitkan lagi kenangan.

Memporak-porandakan rindu

yang telah kutaruh di dalam kotak bernama masa lalu.

 

Malam ini, kasih

di sekitar tempatku berdiri, sangatlah tenang

Hanya isakan tangis yang sesekali terdengar

dari awan; meratapi kepergian hujan.

Juga gemuruh petir yang beberapa kali bersahutan

—menunjukan kuasanya atas gigilnya malam.

Dalam suasana seperti ini,

ingin aku tenggelamkan lagi tubuhku

ke dalam pelukanmu yang kerap menyetubuhi rindu

—menikmati jemarimu yang bertautan

menari riang di punggungku.

 

Kasih, hari ini hujan telah menyapa

biarkan dia membasahi setiap titik lekuk di tubuhmu

serupa dekapku yang belum terucap.

Dan anggaplah rintiknya

sebagai kecup yang kujatuhkan di keningmu

—kecup terakhir pengantar lelapmu.

2014/02/08

Bahasa Peluk Untukmu

Dalam kesendirian di ujung ruang ini,
sesungguhnya aku sedang berselisih dengan hati.
Aku mencoba mengubur semua kenang
—menenggelamkan ke dalam telaga masa lalu.
Tapi hatiku, tidak

Jika kau ijinkan, Luna
aku ingin menuliskan namamu
meski dalam puisi yang miskin diksi
rima tak berirama, atau majas yang tak jelas,
karena dengan puisi, aku bebas membahasakan pelukku

Sebuah peluk yang tak sempat kubentuk
kecup kerinduan yang masih meringkuk.
pun 1000 malam yang kulalui tanpamu.

Tapi mimpi ini tak juga memudar
karena tulusnya membuatnya tetap berpijar.
Sebuah keindahan
yang bahkan lebih dari senja yang menutup cerita.

Kau tak pernah pergi dari ingatanku
—dari tubuhku; menemaniku,
yang selalu bersahabat dengan sunyi.
Serupa angin yang membahasakan sapa
dengan sentuhannya yang menggugurkan dedaunan.
Samar kudengar mereka sampaikan inginmu,
lewat ranting yang dipatahkan, satu demi satu.
Tapi waktu, tampaknya perlahan meluluh-lantakkan istana bertuliskan namamu
meruntuhkannya dengan terik, hujan, juga badai

Tapi, sayang
jika aku diijinkan untuk memilih
—di antara lupa dan ingat,
aku lebih memilih mengingatmu
Meski hatiku telah berulangkali kau remas
kau sayat, kau lukai, bahkan kau bunuh.
Dan aku lebih memilih untuk tetap mencintaimu.
Karena kau; Luna, adalah puisi bagiku.

 

Bandara Soekarno-Hatta, 18 Desember 2013 (22.13)