2014/12/03

Pada Malam yang Menggigilkan Kenang

Malam ini aku terbangun dengan napas tersengal--dibangunkan oleh mimpi yang dipenggal kesunyian. Seekor kunang-kunang terbang mendekat, membahasakan kata sesal yang terlintas di pikiranku. Malam ini bulan sudah melewati purnama kedua, sejak pertama kali aku meninggalkan ruangan ini. "Aku sengaja tak mengubah apapun di ruang ini, agar kelak ketika kau kembali, kau tak pernah merasa asing." katamu.

Awalnya, aku mengira; jika kupaksakan untuk menutup kisah dengan perempuan itu lalu pergi dari hidupnya, akan membawaku pada perjalanan yang lebih mudah--menuliskan cerita yang baru. Ternyata tidak. Dia telah menancapkan ribuan panah bertuliskan namanya melalui gigilnya malam melewati pori-pori di kulitku.

Untuk melepaskan penat, aku membuka jendela di ujung kamar. Sebatang rokok kuhisap, dan asapnya sering kuanggap perantara untuk membawa penyesalanku pergi. Tapi dingin malam ini seperti bersahabat dengan kenangan yang seharusnya tak pernah kuizinkan kembali. Dimana dia pernah berbaring di dadaku menghadap langit, menghitung bintang yang sedang menari menempatkan diri--membentuk rasi-rasi. Sebelum dia berdiri, mengecup jari tangannya lalu membuangnya ke langit. "Kelak ketika kau merindukanku, pandangilah langit. Untukmu, aku telah menitipkan kecup terhangatku padanya." katanya saat itu.

Air mataku jatuh meninggalkan cawannya, saat pandanganku melihat satu sosok perempuan yang kesehariannya berbagi tempat tidur denganku, dan seketika berhenti ketika kurasakan pelukan hangat yang menyapa punggung--kau memelukku dengan perasaan sama ketika pertama kali kau melakukannya. Aku merasakannya dari degup dadamu yang menekan punggungku. "Sayang, aku tahu kau menemui perempuan itu sesaat sebelum kau meninggalkan rumah ini--dua bulan yang lalu." katamu menahan tangis, tapi tak mengendurkan pelukanmu.

Entah, malam ini air mataku mudah sekali dijatuhkan. Aku tak mencoba menyeka air mataku yang kembali menggenangi kelopaknya, seperti penyesalanku yang berbohong di hadapanmu perihal pertemuanku dengan perempuan itu. "Sayang, maafkan aku, aku berjanji bahwa hari itu adalah hari terakhir pertemuanku dengannya." kataku dengan yakin. Meskipun aku tak yakin, apakah keyakinanku ini untukmu atau untukku.

"Jangan menjanjikan suatu yang kau tak yakin bisa menepati." pesanmu. Sedangkan aku hanya terdiam--tenggelam menikmati pelukanmu. Tanganmu yang semula berada di pinggangku, perlahan kaubawa naik--kauletakkan menyilang di dadaku. Kau pun hanya diam, sambil memelukku erat, lebih erat, lalu kaubisikan kalimat yang menjadi doa dalam setiap sujudku "Sayang, aku mencintaimu, dan kuharap akulah alasan detak jantungmu didegupkan."

1 komentar: