2014/09/27

Siapa Aku?

Tak ada lagi luka, tak ada lagi duka
yang tersisa ialah bahagia yang ada di depan sana

Terkadang cinta memang lucu
Kau memberiku penawar luka, membuatnya sembuh
sebelum kau lukai lagi aku dengan tangis yang membuatku jatuh
Dosa yang tertinggal di pikiran kita masing-masing bersuara
menggumamkan kesah yang tak terucap

Yang kutahu; aku menjatuhkan cinta yang hangat pada genggamanmu
tapi sepertinya, cinta yang kaujatuhkan telah digigilkan cemburu

Engkau pergi sebagai ribuan tanya
dan aku terlalu sibuk mencari jawaban
hingga aku lupa cara berjalan

"Lalu bagaimana aku bisa melupakanmu?"
pikiranku berputar memaksakan jawaban
sebelum akhirnya kuputuskan
: untuk membuatkan akrostik dari namamu
sebagai hadiah perpisahan

Sayangnya, aku tak ingin tergesa--aku masih ingin menikmati sakitnya mengingatmu
Puisi pertama selesai, pun kedua, ketiga, keempat,
hingga aku lupa, benar-benar lupa

"Siapa aku?"

Entah, mungkin melupakanmu sama saja membunuhku.

Surabaya, 2014

2014/09/15

Pada Satu Senja

Semalam, satu pesan singkat kuterima; "Aku ingin bertemu." Dan kau menentukan tempat pertemuan kita sebagai jembatan perpisahan. Beranda kafe ini semakin terang oleh senja yang sebentar lagi pergi. Sesekali menyilaukan ketika cahayanya menyelinap saat pintunya terbuka. Aku yang datang lebih dulu, memilih duduk di tempat kesukaanmu--menghadap ke Barat. "Aku suka melihat matahari datang, seperti manusia yang harus melangkah ketika memutuskan untuk bangun dan berdiri dari tidur di malam sebelumnya." alasan yang kau ungkap.

Acap kali kuselingkuhi buku yang kuletakkan di pangkuan dan mengarahkan pandangan ketika pintu kafe terbuka, berharap kau segera datang lalu mengakhiri keresahanku. Tepat pukul lima kau datang dengan pakaian hadiah ulang tahun dariku. "Kau cantik sekali." kataku mengagumi. Sebuah senyum kau lempar padaku sebagai balasan.

Sore ini, kau datang sebagai masa lalu, kita duduk saling berhadapan--tak lagi berdampingan, di meja yang sama ketika kita sepakat untuk saling menjatuhkan hati. Untuk menyamarkan pahitnya perpisahan kau memesan cokelat manis, kau letakkan di sebelah cangkir kopi pahit milikku, yang kuanggap sebagai perantara melupakan manisnya pertemuan.

Hampir satu putaran penuh jarum jam panjang di dinding itu bergerak, kau tetap saja diam memandangi senja yang berpamitan pada dunia. Pun aku yang tak berusaha untuk memulai bicara, larut dalam indahnya perpisahan. "Maaf. Maaf aku harus meninggalkanmu seperti itu." kalimat yang keluar dari bibirmu, sekaligus membangunkan lamunanku--membawa ingatanku pada pertemuan terakhir kita satu bulan yang lalu. "Selamat tinggal." ialah kata-kata terakhir yang kudengar darimu sebelum kau membanting pintu di depanku.

Ketika senja sudah sepenuhnya berpamitan, aku berdiri, kukatakan padanya: "Aku pergi. Untuk kita: mungkin Tuhan menuliskan pertemuan untuk dipisahkan. Selamat tinggal." Sedangkan dia tetap diam, melihat perpisahan; bukan dengan senja, tapi aku.

Ternyata benar yang kubayangkan, cinta adalah guru yang hebat; bukan selalu tentang bahagia, cinta juga mengajarkan luka. Semoga pertemuan ini menjadi pertemuan terakhirku dengan luka--oleh seorang yang pernah kujadikan kepulangan terakhir.

Selamat tinggal.