2014/04/21

Aku (Pernah) Hidup

Waktu tak berdetak sesuai inginku
Uraikan lagi kisah yang telah lalu.
Luka yang (pernah) kuberi padamu, membayangi setiap langkah
Aku, bahkan tak lagi mengenal hatiku.
Namamu (pernah) ada—selalu ada dalam doa
—Wajahmu (pernah) selalu mengunjungi mimpi.
Adalah egoku, yang membuatmu tak lagi di sisi
Hempaskan segala angan yang telah nyata—dalam dirimu, satu
Yang terbaik, yang (pernah) kumiliki
Untaian kata berwujud janji (pernah) ada
Taburkan benih-benih bahagia dalam cerita
Rasa ini masih ada,
Inginkanmu tak (pernah) pergi dariku
Otakku kini tak lagi bisa berkata manis pada hatiku
Kepala di tubuh ini (pernah) hanya berisi namamu
Tuliskan mimpi dari masa yang telah lalu.
Aku yang (pernah) menganggapmu serupa candu
Virus yang tak (pernah) ingin kuhilangkan.
Ijinkan aku, mengulang kembali waktu—saat bersamamu
Agar aku bisa—agar aku bisa menghapus kata (pernah), dari kisah yang (pernah) kutuliskan.

Karena aku, (pernah) sangat mencintaimu.

2014/04/07

Kecup Terakhirku

Sehangat apapun senja,

ia tak lebih hangat dari tubuhmu yang mendekap

Yang mengantarku kembali memasuki luka,

membangkitkan lagi kenangan.

Memporak-porandakan rindu

yang telah kutaruh di dalam kotak bernama masa lalu.

 

Malam ini, kasih

di sekitar tempatku berdiri, sangatlah tenang

Hanya isakan tangis yang sesekali terdengar

dari awan; meratapi kepergian hujan.

Juga gemuruh petir yang beberapa kali bersahutan

—menunjukan kuasanya atas gigilnya malam.

Dalam suasana seperti ini,

ingin aku tenggelamkan lagi tubuhku

ke dalam pelukanmu yang kerap menyetubuhi rindu

—menikmati jemarimu yang bertautan

menari riang di punggungku.

 

Kasih, hari ini hujan telah menyapa

biarkan dia membasahi setiap titik lekuk di tubuhmu

serupa dekapku yang belum terucap.

Dan anggaplah rintiknya

sebagai kecup yang kujatuhkan di keningmu

—kecup terakhir pengantar lelapmu.