2015/02/13

Pergi yang Direstui Pagi

Hujan sudah mengering
sawah-ladang digenangi kemarau
bangkai-bangkai padi dibakar amarah
hajatan burung-burung gereja telah usai

anak-anak kecil menari
seperti menyiangi kesedihan para orang tua

Aku datang mengunjungi nisanku
di depan pintu kau menolakku dari tanah pekuburan di dadamu
Kamboja di sini tak lagi memutih
tak ada air mata yang menyirami
pun bunga yang kubawa tak lagi wangi
mengiringi beribu kata penyesalan
dihantui oleh kata benci yang keluar dari bibirmu

Hari sudah malam
Berbekal sepotong senja dari matamu
aku pulang ke tanah asalku
--melangkah bersama sukma kesedihan di dadaku
Kubayangkan; pada satu pekarangan aku terhenti
diantara kenangan-kenangan yang kaubiarkan berserakan
di luar peti ingatan milikmu

Dalam penantian menuju pagi aku duduk di depan perapian
kunang-kunang mewarnai sepi
membawa ribuan ragu yang keluar dari kepalaku
Perlahan menata kembali ingatan-ingatanmu
memilih menguburkan kisah tentangku di luar
berharap kau tak lagi mengingat luka yang kuberi
seperti seorang gadis
yang tak ingin lagi mengingat perihal patah hati

Malam sebentar lagi usai, bulan digerayangi matahari
merayunya untuk segera pergi
Para induk burung berangkat berburu
atau mencari potongan jerami untuk penghangat pondok
perginya direstui pagi
beserta embun yang membasahi tumpukan kertas putih milikku
pun melunturkan lembaran berisi beberapa puisi tentangmu
Mungkin, aku musti menuliskan nama baru
--bukan tentang kita, bukan juga tentangmu
menguburkan masa lalu bersama kemarau
yang usai dibasahi gerimis pagi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar