2020/05/31

Hari-hari di Surabaya

Surabaya siang dihiasi terik keringat para pekerja
ibu-ibu penjual nasi di gang sempit Kaliasin yang melayani pekerja kantor dan pertokoan,
anak-anak masih berseragam menjajakan koran pagi,
juga angkutan kota yang mengantar penumpang untuk pulang atau pergi—menjemput rezeki untuk makan hari ini atau membeli mainan anak yang telanjur ia janjikan.

di beberapa tempat,
sore menjadi kesukaan warga Surabaya untuk berwisata,
menikmati senja di Surabaya North Quay,
merasakan sejuknya udara di Kebon Bibit Wonorejo,
atau pecinta fotografi yang berburu foto dengan latar belakang bangunan tua di jalan Gula

ketika senja mulai berpamitan,
keramaian jalan Urip Sumoharjo dan Ahmad Yani memuncak
mobil dan sepeda motor berbaris—menunggu giliran peluk mereka sampai pada dekap yang biasa mereka sebut sebagai rumah.

hingga malam semakin larut,
perempuan-perempuan penghibur tempat hiburan,
petugas keamanan yang bekerja shift malam,
sopir taksi daring yang bekerja paruh waktu,
atau para pekerja bar yang sepertinya tak mengenal kata libur.
mereka baru memulai pekerjaannya,
sebagian lain pergi melepas penat atau bosan
mendatangi gerai makanan di Eastcoast dan tempat hiburan di tengah kota,
menikmati beberapa botol bir dan sekadar bercengkrama,
ada juga laki-laki pencari Cinta Satu Malam yang hilang arah karena Dolly dan Moroseneng tak lagi ada.
untuk mereka yang sedang dimabuk cinta
bisa ditemukan di beberapa sudut taman kota, taman Prestasi, taman Lansia, juga taman Bungkul,
berdua, berpegangan tangan, bercanda, berbincang,
atau bercinta di hotel-hotel kelas melati dan kamboja di wilayah Ngagel, Kaliwaron, atau Pasar Kembang
sambil berharap tak ada bapak-bapak petugas gabungan Kepolisian dan Satpol PP yang mengganggu urusan berahi mereka
meski beberapa mengaku sekadar bermain halma, monopoli, atau remi ketika ditanya

beranjak dini hari
bentor-bentor seperti berlomba menuju pasar tempat berkumpulnya para pembeli,
baik Keputran, Pucang, atau Wonokromo,
menjajakan hasil kebun di kampung atau sekadar menjualnya kembali.
sementara di halaman sebuah pub di jalan Sumatra, seorang remaja memuntahkan sebotol Vodka senilai uang muka sepeda motor,
juga laki-laki yang pamit lembur padahal sedang bermesraan di dalam ruang karaoke daerah Pandegiling.

tapi ...
apa pun bentuknya tetaplah Surabaya,
cuaca panas level ultimate sembilan ratus sembilan puluh sembilan,
pemimpin perempuan yang membuat banyak warga kota lain cemburu,
juga warga yang cak-cuk tapi ramah.
mereka adalah sebagian kecil Surabaya.

tetaplah menjadi Surabaya yang mbois,
tetaplah ramah,
tetaplah hijau,
dan tetaplah Jancok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar